Fransiskus Xaverius Sudanto, nama dokter ramah dan dikenal di seputar Jayapura, Papua. FX Sudanto lahir di Karanganyar Kebumen menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1975. Cita-citanya semula bukan ingin menjadi dokter, lantaran amanat ibunyalah Sudanto menurut kehendaknya.
Awalnya kuliah di fakultas kedokteran, tutur Sudanto, sangat menjemukan. Tetapi lama-kelamaan ia justru jatuh cinta dengan ilmu yang menurutnya sangat ruwet dan perlu kehati-hatian karena berhubungan dengan nyawa manusia. Saking senangnya menuntut ilmu di fakultas kedokteran, ia kuliah berlama-lama di Yogyakarta. Alasannya, kalau cepat jadi dokter tetapi tidak mengerti dengan baik, malah nanti menyusahkan pasien.
“Biar pasien tidak susah. Karena diagnosis yang ditegakkan pada pasien yang sakit keliru. Itu’kan namanya menyengsarakan pasien,” ujar dia beralasan, “makanya saya lulus lama dari fakultas kedokteran.”
Pada suatu saat, Sudanto menjadi salah satu guru besar asal Amerika, Profesor William Pearson, MD yang mengajar pathologi klinik. Memperoleh ilmu langka, waktu itu masih belum secanggih sekarang, banyak pengetahuan tentang penyakit yang diajarkan prof William membuatnya bingung.
“Saking luasnya ilmu penyakit yang dipelajarinya. Sampai-sampai saya sering tidak bisa tidur dan ke perpustakaan sambil mencocokkan pelajaran yang diajarkan dengan praktik keseharian di rumah sakit,” ujar dia. Akhirnya pria kelahiran 5 Desember 1941, lulus dengan hasil sangat memuaskan; meski waktu lulus tahunan di Fakultas Kedokteran UGM.
Usai menyelesaikan perkuliahan dan memperoleh gelar dokter, Ia mendaftarkan diri sebagai dokter Inpres (Instruksi Presiden) dan ditempatkan di Asmat, Papua. Kala itu Asmat berada di belahan Selatan Papua yang masih dijumpai rawa dan hutan bakau. Awalnya memang, ujar Sudanto, merasa ketar-ketir tinggal di Asmat sendirian.
“Sejauh mata memandang, yang kita temui hanya rawa-rawa dan semak belukar tingginya sepinggang. Selain itu masih terdapat penduduk yang masih sangat primitif. Meski demikian, kami bisa bertegur sapa secara damai. Sungguh tantangan sangat berat dan menantang. Penyakit kurang gizi, malaria, frambesia, kolera waktu itu bisa ditemui setiap hari,” ujar Sudanto, “Meski demikian saya harus tetap bertahan dan membaktikan diri pada warga Papua.”
Kegigihan dokter Sudanto, pantas memperoleh ganjaran dari sang penguasa jagat. Benar saja, pada suatu ketika, ia bertemu dengan salah satu pemenang hadiah nobel kedokteran tahun 1957, Dr Gadjusek MD, dokter asal Belanda penemu penyakit Kuru. Dokter Sudanto sangat beruntung bisa belajar dari Gadjusek tentang penyakit sporadic lateral amytropic sclerosis.
“Saya bisa belajar dari doktor Gadjusek soal penyakit dan penanggulangan lateral amytropic sclerosis yang menyerang sistem syaraf manusia. Terutama penyakit yang menyerang di daerah lokasi yang hidupnya masih terbilang primitif,” katanya, “saya juga memperoleh banyak waktu luang dan vaksin dari doktor Gadjusek.”
Bagi dokter Sudanto, meski ia tinggal di daerah terpencil dengan penduduk kurang lebih 1000 orang, tentu sangat menyenangkan. Anehnya ada pula orang Yahudi ahli antropologi yang sedang melakukan penelitian mendalam tentang asal-usul orang Asmat. Juga menarik minat pastor gereja diutus langsung keuskupan Amerika untuk mempelajari berbagai hal.
“Kehadiran bangsa dari belahan dunia lain, sebenarnya ikut andil dalam memajukan orang-orang Agats dan warga Papua lain,” katanya, “termasuk droping obat-obatan dari luar negeri untuk kesehatan warga masyarakat.”
Dokter Sudanto selama tiga tahun ditempatkan di Puskesmas Agats. Puskesmas yang dulunya rumah sakit besar peninggalan Belanda. Setelah itu, Sudanto dipindahtugaskan ke rumah sakit Katolik di Bayun, juga peninggalan pemerintah Belanda.
“Seluruh biaya operasional mulai dari gaji hingga obat-obatan juga berasal dari negeri Belanda. Pastor Antonius van Der Wouw yang tinggal di desa Basiem, mengawasi jalannya operasional rumah sakit itu,” tutur Sudanto.
Menurut Sudanto, rumah sakit ini memperoleh perhatian besar dari luar negeri. Bantuan peralatan seperty Rontgen dan peralatan lain acapkali diperoleh dari Belanda maupun dari Jerman.
Sampai pada akhirnya di tahun 1983, Sudanto ditugaskan di Rumah Sakit Jiwa Abepura, Jayapura. Selama 12 tahun lamanya ia bekerja sendirian karena pada waktu itu para dokter masih sangat jarang yang mau ke Papua.
Meski ia seorang dokter umum, namun upayanya untuk belajar masalah kejiwaan patut dipuji. Current Medical Diagnosis and Treatment, Comprehensive Psychyatric Nursing, Modern Clinical Psychiatry menjadi buku pegangan bacaan sehari-hari. “Akhirnya saya hafal penyakit jiwa dan ternyata sangat menyenangkan,” pungkasnya.
Pengabdian yang tulus dengan terus tetap belajar
Djuned Wikanto
Komentar
Posting Komentar